Resume Suku Trunyan Di Bali
A. Desa
Trunyan
Desa
trunya bukan termasuk bangsa yang primitif namun mereka termasuk dengan
penduduk petani konservatif. Di pulau Bali mereka terkenal dengan sebutan Bali
Aga, atau Bali mula. Bagi Aga berarti Bali Pegunungan, sedangkan Bali Mula
berarti Bali Asli.
Penduduk
Trunyan sendiri tidak suka dengan sebutan Bali Aga. Mereka lebih senang disebut
dengan Bali Mula,dan akan berterima kasih jika dikatakan sebagai orang Bali
Turunan. Bali Aga menyebut mereka sebagai Bali Hindu dan mereka merupakan
penduduk mayoritas di Pulau Bali.
Orang trunyan mempunyai
satu mite (dongeng suci) mengenai asal-usul penduduk Trunyan, yang menceritakan
bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang dewi dari langit yang diusir dari
khayangan, untuk turunan ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan
nama desa Trunyan. Rahim dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib oleh matahari
(Sang Surya) sehingga mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang Dewi
melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya adalah anak banci dan
seorang lagi anak perempuan. Setelah kejadian ini Sang Dewi kembali ke
Kahyangan. Putri Dewi tersebut kemudian kawin dengan seorang putra Raja Jawa
(Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik oleh bau-bauan harum yang
dipancarkan oleh sebatang Taru (pohon) menyan yang tumbuh di Trunyan. Dari
kedua insan dan dewi ini, kemudian diturunkan penduduk Trunyan yang sekarang
ini.
A. Sistem
Religi Dan Ilmu Gaib
Religi orang Trunyan
adalah suatu versi yang berbeda dengan agama Hindu Bali, yang dapat disebut
sebagai agama Hindu Bali Trunya, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama
Hindu Dharma, yang telah diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Agama
Hindu Trunyan dapat disebut sebagai versuia dari agama Hindu Bali, karena agama
tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan agama Hindu Bali, masih lebih
banyak berlandasakan kepada kepercayaan Trunyan asli. Apa yang disebut
kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada
pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya dialam sekeliling tempat
tinggalnya sehingga perlu juga dipuja (animatisme), percaya bahwa benda-benda
dan tumbuh-tumbuhan di sekelilingnya berjiwa dapat juga berperasaan seperti
manusia (animatisme) dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal
atau benda yang luar biasa.
Walaupun
dari luar religi Trunya tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu Bali
dan arsitektur Hindu Bali yaitu anatara lain diciri oleh adanya adanya
pelinggih-pelinggih, meru, dan hiaas ragam puncak dinding berupa ratna, yang
merupakan atribut utama kuil Hindu. Namun semua ini dipergunakan untuk memuja
dewa-dewa asli Trunyan.
Liturgi
Hindu Bali misalnya dipergunakan di sana bukan untuk memuja dewa-dewa Hindu,
yang berasa;l dari India seperti Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan yang
berasal dari dari dewa-dewa pribumi Trunyan yang asalnya dari leluhur mereka
sendiri seperti Ratu Sakti Pancering Jagatpermaisurinya, selirnya, pendetanya,
para menterinya, panglima perangnya, dan anak-anaknya.
Kecuali
itu, agama Hindu Trunyan juga merupakan versi yang berbeda dari agama Hindu
Bali, karna umatnya tidak merayakan upacara-upacara agama Hindu Bali yang
terpenting, seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Ciwaratri, Saraswati, dan
Pagewesi, secara yang dilakukan orang Bali Hindu, melainkan sebagai gantinya
pada sebagian dari hari-hari yang sama, mereka merayakan upacara khas Trunya
sendiri, atau tidak merayakan sama sekali.
A. Kuburan
Trunyan
Trunyan
merupakan salah satu Desa Bali Mula (Desa Asli Bali). Selain tatanan kehidupan
sosial masyarakatnya yang berbeda dengan masyarakat Bali pada Umumnya, Desa
Trunyan juga memiliki keunikan dalam menguburkan jenazah masyarakatnya. Tidak
seperti Desa-desa lainnya di Bali, Desa Trunyan tidak mengenal upacara
pembakaran jenazah pada upacara Ngaben. Mereka hanya menggunakan simbolis untuk
proses pengembalian badan kasar kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam
hal ini mereka masih menggunakan tradisi lokal dengan hanya meletakkan jenazah
di atas tanah. Dalam hal sesajen dan haturan, mereka tetap mengadopsi tradisi,
budaya, dan filsafat Agama Hindu. Kuburan Tua (Sema Wayah) Kuburan Tua terletak
di Ujung Desa Trunyan. Kita harus menyeberangi Danau Batur untuk mengaksesnya.
Begitu pula bagi masyarakat Desa Trunyan apabila akan membawa jenazah untuk
dikuburkan. Dari Desa Trunyan, Kuburan Trunyan bisa diakses dengan menggunakan
perahu tradisional (perahu dayung) selama 15 menit. Sedangkan dengan
menggunakan perahu motor dari Desa Kedisan bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20
menit. Khusus untuk Warga Desa Trunyan, hanya laki-laki yang diijinkan memasuki
Kuburan Desa, sedangkan wanita Desa Trunyan tidak diperbolehkan. Hal ini
sangatlah masuk akal dan logis bahwa wanita sangat emosional dan dikhawatirkan
akan terlalu sedih apabila datang ke pemakaman atau kuburan ini. Masyarakat
Trunyan percaya bahwa dengan tangisan dan kesedihan yang terlalu dalam akan
menghambat kembalinya roh menuju nirwana. Kuburan Tua Desa Trunyan hanya
diperuntukkan bagi warga Trunyan Dewasa yang memang sudah waktunya meninggal
(meninggal dengan normal). Di kuburan ini jenazah tidak dikuburkan seperti
jenazah pada umumnya. Jenazah akan diletakkan di atas tanah pada lokasi yang
telah ditentukan dengan hanya menutupnya dengan bambu. Jumlah tempat untuk
meletakkan jenazah tersebut hanya 11 buah. Bagi masyarakat Bali termasuk
Trunyan, angka 11 merupakan angka tertinggi yang sakral dan merupakan puncak
pencapaian spiritual. Angka 11 juga diyakini sebagai 11 tingkatan mulai dunia
hingga nirwana. Dari 11 tempat tersebut, jika ada yang meninggal dari pemuka
agama/adat (orang yang disucika), maka akan diletakkan pada tempat yang paling
hulu (timur laut/tempat yang mengarah matahari terbit dan dataran tinggi atau
gunung). Apabila ada jenazah baru maka akan menggantikan tempat jenazah yang
paling lama, sedangkan jenazah yang paling lama akan dipindahkan ke samping. Bagi masyarakat awam, mengunjungi kuburan ini
akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan merasa bahwa orang Trunyan memberikan
perlakuan yang tidak layak kepada orang yang telah meninggal. Diperlukan
pemahaman dan spiritual yang tinggi untuk mampu menerima hal tersebut sebagai
sebuah tradisi dan budaya yang bernilai tinggi. Orang Trunyan juga merupakan
salah satu kelompok masyarakat yang mempercayai adanya reinkarnasi/lahir
kembali. Kematian bukanlah akihr dari kehidupan, tetapi awal dimulainya kembali
perjalanan roh untuk lahir dan memulai karmanya lagi di dunia. Badan kasar yang
telah meninggal akan ditinggalkan roh (pemiliknya) untuk berganti dengan roh
('baju baru') saat kelahiran kembali.
Bagi masyarakat Desa Trunyan, setelah kematian dan mensemayamkan jenazah
di kuburan, hal yang harus mereka lakukan adalah melakukan upacara untuk
perjalanan roh untuk bisa kembali ke pura keluarga sehingga lebih dekat dengan
keluarga dan bisa kembali ke dunia melalui kelahiran kembali.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.terunyan.desa.id/index.php/Desa%20
peninjoan
http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/upacara-adat-ngaben-di-desa-trunyan-bali.html?m=1
Komentar
Posting Komentar