Kepercayaan Lokal Suku Flores


BAB I

Pendahuluan

A.     Latar Belakang

Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air Terjun Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air Panas Liasembe dan sebagainya. Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat kurang.
Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran, pendalaman, pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores harus mulai dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores sendiri.
























Bab II

Pembahasan


A.    Asal-Usul Suku Flores

Nama Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.




Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh.Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Penduduk Flores sebenarnya tidak merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang seluruhnya seragam. Ada paling sedikit delapan sub-suku bangsa di antara mereka yang mempunyai logat berbeda-beda. Sub-sub suku bangsa tersebut antara lain : Manggarai, Riung, Ngada, Nage-keo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka.
Perbedaan antara sub-sub suku tersebut tidak terlalu besar kecuali dengan sub suku manggarai. Khususnya pada ciri fisik, sub suku yang lain seperti Riung dan yang lainnya memiliki kulit seperti orang-orang di Irian atau  Melanesia, sedangkan masyarakat sub suku Manggarai lebih banyak menunjukan ciri-ciri Mongoloid-Melayu.



A.    Kepercayaan Dan Magi Orang-Orang Flores

Pada masa sekarang banyak penduduk Flores yang memeluk agama Katholik, dan beberapa yang memeluk agama Protestan. Namun meski demikian, unsur kepercayaan asli dari penduduk Flores masih mewarnai keseharian dan kehidupan keberagamaan Orang-orang Flores.
Menurut orang-orang Flores, bahwa orang yang telah meninggal dunia masih akan melanjutkan kehidupannya di alam lain atau yang lebih di kenal dengan “alam-nitu”. Pada alam ini segala sesuatunya serba terbalik. Ketika di bumi siang, maka disana malam atau sebaliknya. Segala wadah (alai-alai makan dan minuet) selalu digunakan dengan posisi terbalik.Manusia akan mengalami kematian sampai tujuh kali. Pada setiap kali kematian, ia akan mencapai tingkat yang lebih rendah, sampai pads tingkat ke tujuh, ia akan diuji dengan melalui sebuah titian. Jika ia berhasil melaluinya, maka ia akan selamat. Tetapi bila tidak berhasil ia akan jatuh pada kuali besar yang berisi air yang mendidih.[1]
Keyakinan akan Yang Maha Kuasa dikenal dengan beberapa nama atau bentuk. Misalnya orang Manggarai menyebutnya dengan Mori Kareng, orang Sikka dengan Lero Wulan, orang Lio dengan Dua Nggae, dan lain-lain.Percaya pada tahayul, seperti adanya hantu, peri, roh, jahat, roh orang-orang meninggal yang gentayangan, magi, doti (semacam racun dari jarak jauh), tempat-tempat keramat dan lain-lain, masih mewarnai masyarakat Flores hingga saat ini.
Namun pada saat ini kepercayaan-kepercayaan tersebut kini telah banyak tercampur dengan agama-agama besar yang kini masuk ke nusantara. Terutama agama Katholik dan Protestan dan sebagiaan kecil Islam.
Salah satu unsur penting dari religi atau sistem kepercayaan asli orang Flores dan Suku Maggarai khusus nya adalah kepercayaan kepada ruh-ruh nenek moyang. Dalam bahasa Manggarai Ruh-ruh nenek moyang di sebut “empo” atau “andung”. Lain dengan istilah “poti”, istilah tersebut digunakan untuk ruh orang yang telah meninggal secara umum. Ruh-ruh tersebut  di percaya atau di anggap menempati tempat-tempat di sekeliling manusia atau tempat tinggal manusia, seperti tiang-tiang rumah, dalam sebuah perigi, di simpangan jalan, dan di dalam sebuah pohon besar.
Kecuali ruh-ruh  nenek moyang dan ruh-ruh orang yang telah meninggal, orang-orang di maggarai juga mempercayai kepada makhluk-makhluk halus, yang menjaga rumah dan halaman, yang menjaga Desa (naga golo), yang menjaga tanaah pertanian (naga tana), dan sebagainya. Ruh-ruh halus ini di sebut ata pelesina (mahkluk-makhluk yang berada di dunia lain).[2]
Selain itu ada juga kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang menguasai hutan, sungai, sumber-sumber mata air, dan sebagainya yang semua di sebut dengan satu istilah yaitu “darat”. Banyak dari ata pelesina dan darat tersebut di hubungkan dengan upacara-upacara kesuburan atau upacara-upacara pertanian. Semua ruh dan makhluk halus tadi bisa bersifat baik, dan bisa pula bersifat jahat, dan menjadi penyebab dari sebuah penyakit, bencana dan kematian, jika tidak di perhatikan pada saat-saat atau cara-cara yang di tentukan oleh adat. Adapaun ruh-ruh yang memang asal nya bersifat jahat itu adalah jin atau syetan.
Suatu unsur penting dari unsur religi dari penduduk Flores, adalah kepercayaan kepada Dewa Tertinggi. Pada orang Maggarai tokoh dewa tersebut di sebut Mori Karaeng, sedangkan dalam masyarakat Ngada di sebut Deva. Dalam mitologi masyarakat Manggarai Mori Karaeng itu di anggap pencipta alam dan ada dongeng-dongeng khusus mengenai caranya menciptakan bumi ini, manusia, dunia ruh, binatang, dan tumbuh-tumbuhan seperti padi dan jagung. Sedangkan adapula dongeng-dongeng mengapa ia menyebabkan adanya angin, adanya gempa bumi, mengapa ia menghukum bulan dengan suatu eklips bulan, dan bagaimana ia mempergunakan petir untuk menghukum para jin. Ada beberapa dongeng pula yang menceritakan atau menerangkan bagaimana ia menolong manusia, menghukum yang melanggar adat, dan mereka yang berbuat dosa karena melakukan pembunuhan, menentang orang tua, atau karena mengabaikan kewajiban mereka untuk melakukan upacara. Adapula dongeng-dongeng yang menceritakan bagaimana Mori Karaeng mengajarkan manusia seni tenun, dan juga mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya membuat tuak. Demikian, kecuali dalam penciptaan alam dan penjaga adat, Mori Karaeng di sebut sebagai tokoh dewa yang dalam ilmu antropologi di sebut sebagai dewa pembawa adat atau cultural hero.[3]
Namun siapa menyangka bahwa kepercayaan mereka terhadap Dewa, yang kini mungkin ada yang beragama Katolik, Kristen, maupun Islam, tidak mampu mengubah salah satu kebiasaan sulit untuk bergotong-royong, karena banyaknya pengunjung disetiap hari minggu datang ke gereja namun mereka seolah-olah hanya menganggap itu hanya sebuah aktifitas rutinan dan yang terjadi adalah kehampaan dan perasaan yang kosong.
Satu hal unik dalam hal keagaaman mereka, terutama yang berada di pantai utara, yang beragama kristen, mereka didalam melihat dunia ghaib dan akhirat masih banyak tidak memperdulikan ajaran kristen, justru dalam hal-hal demikian masih menganut kepercayaan asli mereka. Seperti contoh, masih ada pengasingan bagi keluarga yang sedang berkabung saat ada salah satu anggota dari keluarganya yang meninggal. Mereka beranggapan atas dasar kekhawatiran kematian keluarganya yang akan menularkan kematiannya kepada diantara mereka, karena mereka memilki kepercayaan bahwa roh orang yang mati dalam beberap hari masihlah berada disekitar, dan belum menghadap nenek moyang, dan bagi yang beragama kristen menganggap menghadap kepada Yesus.[4]










B.     Upacara Adat dan Kepercayaan Orang Flores


Upacara keagamaan yang asli, dari orang-orang Flores dan khususnya bagi rang-orang Manggarai di lakukan dengan di pimpin oleh seorang ata mbeko. Jabatan itu tidak bisa di dapatkan karena sistem keturunan, tetapi di dapatkan dengan cara belajar kepada ata mbeko  yang sudah berpengalaman. Setiap laki-laki dan perempuan dapat menjadi seorang ata mbeko.
Seorang ata mbeko, terkadang di undang untuk memberikan petunjuk atau melaksanakan upacara-upacara adat yang ada di sekitar rumah tangga. Upacara-upacara serupa itu dimulai dengan upacara pada peristiwa kehamilan mulai memasuki 5 bulan (jambat) dan berakhir dengan upacara adat sesudah sepasang pengatin baru untuk tinggal di rumah kedua orang tua dari sang istri (upacara wega mio). Selain hal-hal di atas masih banyak lagi upacara-upacara adat yang lain, diantaranya :


a.       Upacara Kelahiran

Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar siibu tetap sehat dan tidak dianggap roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan(mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak  memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi.

b.      Upacara menuju kedewasaan

Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki dan potong gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngll. Koa Ngll merupakan upacara potonggigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun rumah tangga.


c.       Upacara Perkawinan

Berikut ini kami sajikan beberapa upacara adat perkawinan dari beberapa daerah antara lain :

1.      Wanita dan perkawinan di Flores Timur

Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yan gmengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh.[5]

2.      Wanita dan adat perkawinan di Sikka

Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun. Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya[6]



3.      Perkawinan masyarakat di Ngada

Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa,dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakantanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi hartakekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu satu putri tunggal.Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idiweti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinyamembawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan padasaat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinyalamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku mebhu tana tigi, idi tua manu.

4.      Perkawinan masyarakat Manggarai

Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
a.       Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatanorang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakanlambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yangtelah membesarkannya.
b.      Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudiitu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.
c.       Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungandara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak  perempuan dari paman.
d.      Perkawianan tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak  berdasarkan hu bungan darah.
e.       Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat

Selain dari beberapa jenis perkawinan di atas, terdapat pula suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering di lakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu untuk membayar mas kawin yang nilainya terlalu tinggi, perkawinan jenis ini di namakan Kawin Roko’ atau kawin lari. Seringkali kawin roko’ di lakukan dengan pengertian dari kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbuatan pura-pura untuk menutupi rasa malu atau rasa canggung bagi keluarga yang tidak mampu untuk membayar paca atau maskawin yang nilai nya terlalu tinggi. Meskipun demikian pada saat ini kawin roko’ atau kawin lari masih sering di lakukan tidak sebagai perbuatan pura-pura atau untuk syarat saja. Tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena pihak keluarga si gadis tidak menyetujui perkawinan tersebut. Pada perkawinan roko’ tersebut, lamaran di lakukan setelah si gadis di bawa lari atau pergi. Karena pada saat tersebut ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak keluarga si gadis telah mereda atau berkurang, dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan serta menerima lamaran dari pihak si pemuda. Walaupun pada perundingan yang terjadi, biasanya pihak keluarga si gadis tetap meminta paca atau maskawin yang tinggi sebagai tindakan mempertahankan harga diri, dalam hal praktik nya hal tersebut terkadang tetap tidak terpenuhi, karena pada keadaannya si pemudi toh sudah hidup di tengah-tengah keluarga si pemuda.[7]
Seorang pemuda yang tidak mampu untuk membayar mas kawin atau paca juga terkadang melakukan hal lain untuk tetap dapat menikahi gadis pujaannya, seperti bekerja kepada orang tua si gadis dengan waktu yang telah di tentukan sebelumnya. Bentuk perkawinan ini biasanya di sebut perkawinan duluk.





d.      Upacara pertanian

Sebagai bangsa agraris, tentu tidaklah mengherankan jika dikepulauan flores ini hampir semuanya adalah petani yang menanam jagung, terutama padi yang memiliki banyak cerita yang sering dikatakan dongeng oleh para peneliti luar maupun dalam negri.
Ketika kita berbicara tentang upacara-upacara ritual keagamaan, yang merupakan suatu kepercayaan lokal yang ada di kepulauan flores ini, maka amatlah banyak ajaran-ajaran keagamaan yang berbeda-beda, namun tetaplah ada suatu upacara ritual keagamaan yang sama didalam tujuannya, hanya saja berbeda penyebutan dan sedikit ada perbedaan diantara sekian banyaknya sub-suku-bangsa yang ada dikepulauan flores ini. Mereka merupakan kesatuan yang awalnya memilki budaya yang sama, seperti halnya didalam Mitologi bercocok tanam ‘terutama padi’.
     Ada diantara mereka yang memiliki cerita tentang asal-usul padi itu sendiri di dunia. Secara garis besar mereka beranggapan bahwa pagi itu adalah makan pokok penghuni surga dan angkasa. Dahulu antara langit dan bumi ada hubungan langsung. Orang dari dunia manusia biasanya berkunjung kesana. Suatu peristiwa, seorang penghuni dunia manusia datang kesana dan dijamu makanan surgawi itu. Ketika akan kembali, ia mencari padi itu sedikit. Dengan demikian sampailah padi ke bumi dan menyebar luas di dunia.
     Adapun versi lain dari Sareng Orinbao (pengumpul cerita rakyat tentang padi) yang beranggapan bahwa padi itu tumbuh dari bagian tertentu dari tubuh seorang gadis yang  dengan suka rela membiarkan dirinya dibunuh karena rasa iba terhadap manusia yang tak mengenal nasi.
 Versi ini terdapat antara lain pada subkelompok etnik Lio, diKabupaten Ende. Gadis yang dimitoskan sebagai pemberi padi bernama Ine Mbu. Setelah berhias dan berdandan secara indah, dia membiarkan dirinya dibunih dan dicincang halus. Dagingnya kemudian ditaburkan diladang. Agar dagin Ine Mbu tidak dicemarkan walang sangit, ada seekor ular raksasa yang dengan menggerak-gerakkan kepala dan ekornya mengusir walang sangit yang datang mengganggu. Sebagai penegasan untuk peristiwa itu, orang Lio mengatakan bahwa peristiwa itu telah berlangsung di puncak gunung yang bernama Keli Ndota. Gunung itu memang ada di Lio. Didaerah Lio dikenal padi jenis lokal yakni Pare Mbu, pare ndale dan pare sipi. Ndale dan Sipi adalah nama saudara Ine Mbu.

     Atas dasar Mitologi diatas, dapat diterima kalau diadakan berbagai upacara aygn menyangkut padi itu. Dari mulai nandur (tanam) hingga panen terdapat banyak upacara lainnya, seperti penduduk yang berdiam dibagian tengah kabupaten Manggarai yang mengenal kebunyang dapat dikerjakan oleh para anggota keluarga luas. Kebun yang bentuknya lingkaran disebutnya Lingko. Perayaan pada Lingko terdapat tiga jenis, yaitu :
1.     Lingko rame atau Lingko randang. Pada lingko randang perayaan diadakan baik dilingko sendiri maupun dilingko kampung. Pada saat peryaan panen harus menyembelih kerbau dan diadakan pertunjukan tradisional yang disebut caci. Semua perayaan yang terikat pada pertanian, harus dimulai dari membuka tanah hingga memanen singkong yang tidak boleh dilampaui.
2.     Lingko bon adalah perayaan yang memang diadakan, tetapi tidak semeriah seperti lingko randang, tidak diadakan main caci dan tidak ada kerbau yang disembelih.
3.     Lingko neol adalah kebun yang terletak diantara dua lingko besar.

Walaupun terlihat itu merupakan upacara dari suku Manggarai, bukan berarti suku yang lain tak memiliki upacara pertanian. Contohnya, suku Ngada. Suku Ngada memiliki upacara-upacara pertanian, yang justru banyak dikemukakan bahwa suku Ngada-lah yang merupakan salah satu dari sedikit suku di flores yang cukup taat memelihara adatnya seperti memelihara Ngadhu dan Bhaga, meskipun itu merupakan lambang yang mengingatkan orang yang luhur pengasal satu keluarga luas. Sikap terhadap Ngadhu dan Bhaga diwujudkakn nyatamemalui sesajen dalam arti yang luas. Ngadhu dilihat  sebagai persatuan sakral antara bumi dan langit  yang juga memberi kesuburan.[8]


e.       Upacara Kematian

Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya daridunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapatahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita.Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur.Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudiandiberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran. Upacara waktu penguburan,tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur.Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran denganmembunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.

Upacara-upacara penguburan dan berkabung. Merupakan upacara yang luas dan komplex pada orang manggarai. Dalam agama asli orang-orang Flores percaya bahwa jiwa, sesudah mati menjadi ruh  yang untuk beberapa hari berkeliaran di sekitar rumahnya, terutama di tempat biasanya ia tidur. Lima hari setelah kematian biasanya di adakan upacara yang di namakan kelas. Pada upacara tersebut jiwa dianggap berobah menjadi ruh (poti). Melepaskan segala hubungan dengana hidup di alam fana dan pergi ke alam baka, tempat di mana Mori Karaeng berada. Pada upacara ini biasanya korban hewan berada.




f.       Upacara Pembangunan Rumah

Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukanmusyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Seharisebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacaraMaalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama.Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan bendatajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikankepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya danmengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atautidaknya pembangunan rumah diteruskan.Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan caradibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak.Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar  berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".

g.      Upacara Bulan Maria

Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yangdipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja.Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, sepertiKabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagaisimbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesiseperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatanterakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiapOktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Mariaoleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebutmemang dikhususkan untuk menghormati Maria.

h.      Upacara adat diSampar

Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atasselesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba-laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, dimana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan denganmenangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahansekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengenakarena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek.Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampilke gelanggang.

i.        Upacara Iyegerek

Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih spermsebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlahwarga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak  buah kapal), dan pemilik perahu. Perjalanan dilanjutkan ke laut. Empat orang bermahkota daun turi menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan.Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketikaempat orang itu mentas dari laut.Setelah upacara iyegerek, mereka menggelar misa arwah pada sore harinya. Selama perayaan misa arwah, nelayan pantang melaut. Setelah serangkaian acara, misaditutup dengan doa khusus untuk arwah. Masyarakat Lamalera percaya, jika jenazahmereka yang hilang tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.



j.        Takung

Takung (persembahan), yakni upacara persembahan hewan kurban bagi penunggutanah agar memperlihatkan arwah para korban. Selain itu meminta kepada arwahkorban untuk memperlihatkan dirinya agar mereka bisa dikuburkan sesuai adat.Upacara adapt ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing.




k.      Upacara Giit Mendong

Inti upacara adat yang sering dilaksanakan dalam setiap perayaan kemasyarakatan diKabupaten Sikka ini, yakni meminta kehadiran arwah nenek moyang masyarakatSikka untuk merestui setiap perayaan yang dilakukan.



l.        Tradisi Megalitik di Flores

Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarahdan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi paraetnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dariujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya,tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwahleluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan DirjenDikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampaisekarang.Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya),asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalamkebersamaan.Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak  pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga padaupacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dantari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur  bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahanlogam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.

m.    Nyale

Masyarakat Wanukaka yang menyelenggarakan nyale ini di awal bulan Maret, telahmelakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan dirumah masing-masing, malam sebelum nyale.Potong ayam dan membuat ketupat, salah satu ritual yang wajib dilaksanakanmasyarakat Wanukaka. Seperti juga di salah satu rumah warga Kampung Ubu Bewiini. Sebab ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola. Sebagai pertanda, untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak,ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, sepertimenderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.Ketika malam semakin larut, para rato dari Suku Ubu Bewi, yang bertugasmengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaiankebesaran rato. Atau dalam bahasa Wanukaka disebut rowa rato, untuk berdoa diatas batu kubur, menghadap ke arah bulan purnama. Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaangelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyaleatau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh,memulai perburuannya. Ternyata menangkap nyale tidak sesulit yang dibayangkan.Tidak perlu susah-susah mencarinya hingga ke bagian laut yang agak dalam. Cukupdi tepi saja, kita sudah dapat menemukan sekumpulan nyale.
Sesungguhnya nyale merupakan acara inti, dari serangkaian upacara adat yangdilakukan masyarakat pada bulan Pasola. Kehadiran nyale, harus dirayakan dalam bentuk perayaan, yakni atraksi Pasola. Bagi masyarakat agraris seperti di Wanukakaini, kedatangan nyale juga punya kaitan erat, dengan hasil panen di daerah mereka.Semakin banyak nyale yang muncul, kian besar juga kemungkinan hasil panen akan berjalan baik.
Asal usul adanya nyale dan Pasola bermula dari cerita rakyat Waiwuang. Konon,ribuan tahun silam hiduplah tiga orang bersaudara dari Desa Waiwuang. Mereka pergi melaut selama berbulan-bulan. Karena tak kunjung pulang, salah satu istrimereka menikah dengan pria lain. Ternyata ketiga pria itu kembali dan menemuikenyataan, istri dari salah satu pria itu menikah dengan orang lain. Mereka sempatmerasa dipermalukan, namun toh akhirnya selesai secara damai. Dengan sejumlah persyaratan antara lain sang istri dan suami barunya, harus menyediakan satu bungkus nyale hidup.
Atas dasar hikayat ini, tiap tahun warga mengadakan bulan nyale yang diakhiri pestaPasola. Lucunya, tidak semua warga tahu mengapa ada nyale. Terutama generasimudanya. Bagi mereka, ini adalah saatnya bersenang-senang. Sebuah selingan darirutinitas sehari-hari.Setelah nyale menghilang dari pantai, perburuan pun usai. Para pria berkuda berdatangan ke pantai. Mereka akan melakukan Pasola. Ini bukanlah Pasola inti.Hanya berlangsung tak lebih dari 2 jam, Pasola ini semacam pemanasan menuju keatraksi yang sesungguhnya. Pasola di lapangan nan luas.




n.      Pasola

Pasola berasal dari kata `sola' atau `hola', yang berarti sejenis lembing kayu yangdipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh duakelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola),artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasansaling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencangantara dua kelompok yang berlawanan. Pasola dilaksanakan di bentangan padangluas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harusmenguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing(hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalamrangka pesta nyale.

o.      Etu

Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngadhamerupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampungmasing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta.Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga harisebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju

p.      Toalako

Toalako merupakan kegiatan yang diadakan pada musim panas mengatraksikankemampuan binatang peliharaan yaitu kuda dan anjing serta peralatan berburu(misalnya tombak / tuba dan bhou) dalam menangkap binatang buruan yaitu : rusadan babi hutan (celeng). Hasil tangkapan ini disantap secara bersama di lokasi (loka)yang telah disediakan oleh masing-masing suku.

Penutup

Kebudayaan membuat kita kaya, kebudayaan membuat kita dipandang dalam satu titik Indonesia. Kepulauan Flores menjadi salah satu kekayaan yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia. Betapapun perbedaan asat dan budaya, bukanlah acuan untuk menilai baik dan buruknya hal-hal itu. Tapi ketika memiliki perbedaan yang dirasakan bersama dalam menjaga kelestariannya, itulah, yang membuat kita kaya.










Daftar Pustaka

1.      Daeng, Hans J., 2000. Manusia, kebudayaan, dan lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka pelajar


2.      Kentjaraningrat., 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit: Djambatan

3.      Pongsibanne, Lebba Kadorre. 2017. Islam dan Budaya lokal. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara

4.      https://www.scribd.com/doc/36393110/Adat-Budaya-Flores


[1]               Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2000). Hlm 193
[2]               Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2000). Hlm 193

[3]               Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2000). Hlm 194

[4]               Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2000). Hlm 194

[7]               Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Pengantar Dr. Irwan Abdullah. (Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2000). Hlm 188

[8]           Kentjaraningrat.. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Penerbit: Djambatan 1971)

  


















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Observasi Kampung Tajur (Kahuripan)

Resume Suku Toraja