Resume Suku Toraja

1. Asal-usul dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo

 Suku Toraja mendiami sebagian jazirah sulawesi selatan bagian utara. Kata toraja diberikan oleh penduduk asli sulawesi tengah untuk menyebut kelompok etnis yang berdiam di pedalaman dan pergunungan, “To” artinya orang dan “Ri aja” artinya gunung. Orang toraja sendiri zaman dulu menyebut kelompok nya berdasarkan wilayah tempat tinggalnya, yaitu Sa’dan, dari nama sebuah sungai yang mengalir lewat wilayah mereka. Karena itu sering juga disebut sebagai Toraja Sa’dan. Dan kalau dilihat dari bahasa mereka disebut pula orang Toraja Tae. Pada masa sekarang orang Toraja berdiam di daerah yang termasuk dalam wilayah kabupaten Tana Toraja. Sebagian lagi berdiam dalam wilayah Kabupaten Mamuju, seperti di kecamatan Suppiran. Ada juga yang berdiam di wilayah Kabupaten Luwu, serta di wilayah Kabupaten Enrekang. Sementara itu, diantara mereka juga banyak yang merantau ke daerah-daerah lain sampai ke Kalimantan dan Irian Jaya. Bahasanya termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat, Sulawesi, keluarga bahasa Toraja-Sa’dan. Bahasa Toraja disebut juga “Bahasa Tae” oleh Van Der Veen. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya Bahasa Sa’dan. Bahasa ini terdiri atas beberapa dialek, seperti Tallulembangna (Makale), Kesu’ (Rantepao), dan Mappapana (Toraja Barat).

 2. Pokok-pokok ajaran Aluk To Dolo

 Agama asli Sa’dan Toaraja disebut Aluk To Dolo, kadang-kadang sebutan yang sering dipakai adalah Alukta. Penggunaan kata ta diambil dari perkataan tau, laki-laki, manusia, jadi bisa diartikan sebagai ritual keagamaan manusia. Aluk To Dolo secara resmi dikenal sebagai agama asli yang dikaitkan dengan agama hindu sekitar tahun 1970. Meskipun kasta dibawah naungan Hindu mungkin membuat kita agak aneh, para pemuja itu tampaknya melekatkan diri mereka kepada suatu golongan agama diantara berbagai macam agama dunia yang diakui oleh pemerintah indonesia karna mereka merasakan daya spiritual yang besar. Meskipun demikian pengakuan resmi oleh penganut yang mengaku dirinya Aluk To Dolo sudah menurun jumlahnya. Menurut laporan statistik dari kantor Makale Bank Rakyat Indonesia, penghayat aliran kepercayaan diperkirakan 38% dari keseluruhan populasi di Tana Toraja pada tahun 1970. Disamping itu, menurun nya peringkat Aluk To Dolo tidak memberi berdampak pada agama tradisional dan upacara keagamaan. Beberapa orang kristen sering mengundang kepala suku untuk hadir ke beberapa upacara keagamaan dan ritual yang bermaksud untuk mengekalkan hubungan yang baik sesama saudara. Di kristen banyak unsur dari kepercayaan lama masih berwujud, kapanpun keluarga penganut kristen pergi jauh dari rumah dengan waktu yang lama.

 3. Upacara keKepercayaan Masyarakat Toraja

 Kebudayaan menimbulkan tata cara, sikap hidup, falsafah dan pandangan hidup, nilai-nilai moral, kesenian. Maka kepercayaan primitif animis juga menimbulkan suatu lingkungan sikap, dan pandangan hidup tersendiri yang nampak dalam fenomena kehidupan sehari-hari terutama dalam upacara-upacaranya. Upacara diselenggarakan dengan harapan supaya peristiwa yang merugikan masyarakat atau kelompok totem suku jangan terjadi. Selain itu juga dengan harapan supaya segala sesuatu yang dilakukan diusahakan dan dihadapi oleh seseorang dan oleh masyarakat totem akan memuaskan dan berlimpah-limpah hasilnya sehingga membawa kesuburan dan kesejahteran serta keselamatan. Upacara-upacara biasanya dipimpin oleh kepala suku atau shaman atau dukun, dengan makan-makan dan minum bersama, diiringi dengan sesembahan puja dan sesaji terhadap para arwah nyanyian-nyanyian, tarian-tarian dan bunyi-bunyian. Keberhasilan upacara ditentukan oleh jampi-jampi dan mantra-mantra yang diucapkan oleh shaman. Upacara-upacara yang menyangkut kehidupan seseorang sangat banyak macamnya. Dan upacara yang sangat menonjol dikalangan masyarakat animis adalah upacara inisiasi yang meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian, karena peritiwa-peristiwa ini diliputi oleh bahaya yang mengancam baik berupa kecelakaan, penyakit, maupun kematian. Bahaya-bahaya ini sangat banyak sekali jumlahnya maupun kwalitas nya karena inisiasi adalah perubahan status hidup seseorang dimana orang harus memasuki alam baru dan meninggalkan alam yang lama. Tongkonan adalah rumah adat Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja tongkon “duduk”. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku bangsa Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangat penting dalam kehidupan spiritual oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut dalam ritual tongkonan karena tongkonan melambangkan hubungan seseorang dengan leluhurnya. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan oleh keluarga besar secara bergotong royong. Ada tiga jenis tongkonan, pertama adalah tongkonan layuk yang menjadi tempat kekuasaan tertinggi yang digunakan sebagai tempat pemerintahan. Kedua, tongkonan pekamberan yang merupakan milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasanya tinggal di tongkonan batu. Eksklusivitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.








DAFTAR PUSTAKA




Pongsibanne, H. Lebba Kadore, Islam Dan Budaya Lokal Kajian Antropologi Agama, (Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, 2017).
Djamal, Murni, Perbandingan Agama, (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1983).
Hetty Nooy-Palm, The Sa’dan – Toraja A Study of Their Social Life and Religion II Rituals of The East And West, (Foris Publication Holland, Netherlands, 1986).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Observasi Kampung Tajur (Kahuripan)

Video Suku Madura