Jurnal Suku Ambon (Maluku)


Bekas luka konflik Ambon 1999 telah menjadi bagian latar belakang
konflik Ambon September 2011. Konflik Ambon 1999 merupakan bentrokan
fisik antara umat Islam dengan umat Kristen di Ambon yang menggunakan
penyelesaian konflik dengan pemisahan pemukiman dua kelompok warga
umat Islam dengan umat Kristen. Namun demikian, metode resolusi konflik
itu justru menjadi akar konflik dari peristiwa yang terjadi saat ini. Oleh sebab
itu, metode resolusi konflik ini perlu dievaluasi secara menyeluruh. Karena,
metode pemisahan pemukiman antar kelompok kepercayaan (interfaith) akan
membentuk residu sosial atas kelompok yang satu terhadap kelompok yang
lainnya, sebaliknya, pembauran pemukiman interfaith akan dapat menciptakan
akulturasi yang multikulturalisme sebagai insentif integrasi sosial.







Totem “Ambon Manise” merupakan citra diri orang Maluku, khususnya orang Ambon yang dapat
merubah pandangan dan sikap hidup masyarakaynya, sehingga totem Ambon Manise dapat menjadi salah satu alternatif bagi pemerintah Provinsi Maluku dan pemerintah Kota Ambon untuk membongkar kehidupan masyarakat yang masih tersegregasi berbasis agama di Kota Ambon. Sebab,
ketika pemerintah tidak mampu untuk membongkarnya, maka secara tidak sadar pemerintah turut andil dalam proses mengulangi sejarah Kolonial di masa lalu di Kota Ambon.








Peran masyarakat para tokoh agamawan tidak hanya menyerahkan seluruh peran dan tanggungjawabnya kepada negara atau pemerintah daerah, akan tetapi ia harus; (1) bersedia untuk menghentikan bahasa hasutan, (2) selalu mengkomunikasikan agar umatnya selalu tahan diri, jangan terus percaya setiap desas-desus, jangan terus langsung dan mau membalas padahal apa yang terjadi belum pasti. (3) menjalin komunikasi disemua tingkat kehidupan umat. Dari atas sampai ke bawah dan dari bawah sampai ke atas. Harus berani bicara satu sama lain, terutama dialog kehidupan, analisis dan refleksi etos kontekstual menuju perdamaian. Disamping itu yang terpenting dalam merajut perdamain antar umat beragama antara lain; mengadakan dialog, membuka jaringan
antar remaja, pendidikan mulitikulturalisme, membuka ruang public sebagai tempat perjumpaan, sosio-kultural harus diperhatikan dan yang terakhir adalah manajemen perdamaian itu sendiri.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Observasi Kampung Tajur (Kahuripan)

Kepercayaan Lokal Suku Flores

Resume Suku Toraja